ANALISIS NOVEL DIAN
YANG TAK KUNJUNG PADAM
KARYA SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA
DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN OBJEKTIF
A.
Pengertian
Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif merupakan suatu pendekatan yang hanya
menyelidiki karya sastra itu sendiri tanpa menghubungkan dengan hal-hal di luar
karya sastra. Kritik
objektif mendekati karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas dari
penyair, audience, dan dunia yang mengelilinginya! Kritik itu menganalisis
karya sastra sebagai sebuah objek yang mencukupi dirinya sendiri atau hal yang
utuh, atau sebuah dunia dalam dirinya (otonom), yang harus ditimbang atau
dianalisis dengan kriteria “intrinsik” seperti kompleksitas, keseimbangan,
integritas, dan saling hubungan antara unsur-unsur pembentuknya. Dalam artian, pendekatan
objektif ini sama halnya dengan menganalisis unsur-unsur intrinsik dalam suatu
novel.
Ada
satu novel yang menarik untuk dianalisis menggunakan pendekatan objektif atau
dikaji unsur intrinsiknya, yaitu novel Dian
Yang Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Alisjahbana yang terbit pada
tahun 1932 dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Novel ini mengangkat tema cinta
dan dipadukan dengan adat dan istiadat di dalamnya. Gaya penceritaannya memang
terkesan kuno, tetapi kekhasan cerita ini mampu membuat setiap pembaca
benar-benar berada di dalamnya. Rasa senang hingga haru, semua ada dalam novel
ini.
B.
Analisis
Novel dengan Pendekatan Objektif
1.
Tema
Tema
adalah persoalan pokok sebuah cerita. Tema disebut juga ide cerita. Tema dapat
berwujud pengamatan pengarang terhadap berbagai peristiwa dalam kehidupan ini.
Kita dapat memahami tema sebuah cerita jika sudah membaca cerita tersebut
secara keseluruhan.
Novel
ini mengisahkan kehidupan dua orang berbeda kasta di Palembang yang sedang
dimabuk cinta, tapi sayangnya kisah cinta mereka tidak berjalan sesuai dengan
apa yang mereka harapkan hanya karena perbedaan kasta tersebut. Sang lelaki
yang dari keluarga biasa-biasa saja memberanikan untuk melamar biddadari
pujaannya yang dari keturunan bangsawan, namun sayangnya lamaran itu ditolak.
“belum
selang berapa lama ibu Yasin dengan dua orang perempuan lain dan seorang laki2
turun dari rumah yang besar itu, balik dari meminang Molek. Mereka pulang
dengan hampa tangan, karena Cek Sitti berkata terus terang, bahwa anaknya yang
bungsu itu tak dapat diserahkan kepada orang uluan. Jodohnya mesti seorang
bangsawan seperti dia pula” (Alisjahbana, 1986:72).
2.
Tokoh
dan Karakternya
Istilah
tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan watak, perwatakan, atau
karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh yang menggambarkan kualitas
pribadi seorang tokoh. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa
dan penyampai pesan, amanat, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada
pembaca. Secara umum kita mengenal tokoh protagonis dan antagonis. Beberapa
tokoh utama dalam novel Dian Yang Tak
Kunjung Padam ini adalah sebagai berikut:
·
Yasin
Pemuda
yang rajin beribah dan baik hati ini memiliki watak yang sedikit pendiam.
“sejak
pulang dari Palembang itu pekertinya yang pendiam itu se-olah2 menjadi
bertambah pendiam lagi” (Alisjahbana, 1986:25).
·
Molek
Walaupun
ia dilahirkan dari keluarga yang kaya raya dan dari keturunan bangsawan, tetapi
Molek tidak pernah menjadi angkuh pula dan ia juga tidak pernah membeda-bedakan
orang berdasarkan harta dan keturunan. Molek adalah sosok yang rendah hati dan
hormat kepada orangtuanya, Molek sangat mencintai Yasin.
“lagi
pula rupanya kerendahan hatinya dan pekertinya yang pengasih dan penyayang itu
amat berlawanan dengan perasaan kesombongan dan keangkuhan yang acap kali
terdapat pada orang yang mengaku dirinya bangsawan dan dengan hal yang
demikian, Molek bolehlah dibandingkan dengan bunga mawar yang tinggal suci
tumbuh di-tengah2 semak yang rapat” (Alisjahbana, 1986:50).
·
Raden Mahmud dan Cek Sitti
Ayah
dan Ibu dari Molek ini adalah saudagar yang ternama di Palembang. Walaupun
begitu, mereka memiliki sifat yang angkuh dan hanya memandang seseorang dari
hartanya. Mereka juga menerima pinangan Sayid Mustofa untuk meminang Molek
hanya karena harta dan keturunan. Padahal Molek hanya mencintai Yasin.
“pada
suatu hari Molek dipinang oleh Sayid Mustofa, yaitu seorang Arab yang ternama
kaya dan berharta di kota Palembang. Pinangan itu diterima oleh Raden Mahmud
dengan istrinya, sebab meskipun Sayid Mustofa itu bukan seorang bangsawan
Palembang, tetapi pada pemandangannya mereka drajatnya tiada kurang, karena ia
keturunan nabi dan berasal dari Tanah Suci” (Alisjahbana, 1986:93).
·
Ibunda Yasin
Ia
menjadi orangtua tunggal semenjak ditinggal mati suaminya, ia adalah ibu yang
baik, sosok yang halus budinya, dan peka terhadap perasaan anaknya.
“bunda
yang penuh kasih-sayang itupun teruslah meng-amat2i anaknya itu. Dalam
peralatan itu lebih nyatalah kepadanya, bahwa pekerti Yasin sebenarnya telah
berubah tiada seperti biasa lagi” (Alisjahbana, 1986:36).
Selain
tokoh-tokoh di atas yang telah disebutkan wataknya, masih ada lagi beberapa
tokoh tambahan yang hanya muncul sekali-kali.
3.
Latar
Latar dalam sebuah cerita menunjuk
pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan
jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca
menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Unsur
latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu sebagai berikut:
·
Latar
Tempat
Latar tempat merujuk pada lokasi
terjadinya peristiwa. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa
tempat-tempat dengan nama tertentu.
Cerita
dalam novel ini mengambil tempat di daerah Palembang, seperti sungai Musi,
sungai Ogan, Uluan, Enambelas Ilir, Muara Enim, dan Penanggiran.
“bulan
memancarkan amat terang di langit yang tiada berawan.
Sinar
putih ang permai menerangi seluruh Palembang. Sungai Musi yang lebar itu
ber-kilau2an se-olah2 sebuah cermin yang amat besar. Lampu di rumah dan di
perahu terbayang, gelisah seperti ular melata di tempat yang licin”
(Alisjahbana, 1986:3).
Bukti lainnya untuk memperkuat
pernyataan bahwa latar tempat dalam novel ini di daerah Palembang adalah
sebagai berikut:
“Penduduk
dusun Penanggiran amat sibuk, sbab peralatan kawin adik pesirah akan mulai,
lima hari lima malam lamanya. Sudah beberapa hari tak lain yang dipercakapkan
orang melainkan penjamuan yang besar itu saja” (Alisjahbana, 1986:29).
·
Latar
Waktu
Latar waktu berhubungan dengan
"kapan" terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Jika ditanya tahun terjadi peristiwa
dalam cerita ini, mungkin akan sulit terjawab, karena tidak dijelaskan tahun
terjadinya. Namun jika dilihat cetakan pertama novel ini, tampaknya peristiwa
dalam novel ini sudah terjadi pada masa sebelum kemerdekaan. Cetakan pertama
novel ini yaitu tahun 1932, diterbitkan oleh Balai Pustaka.
·
Latar
Sosial
Latar sosial merujuk pada hal-hal
yang berhubungan dengan perilaku kehidupan dosial masyarakat di suatu tempat
yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup,
istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap,
serta hal-hal lainnya.
Novel ini mengangkat kehiduan sosial
orang-orang di Palembang pada zaman sebelum kemerdekaan, saat drajat dan
keturunan masih berpengaruh dalam memilih teman, saudara, dan cinta, saat
perjodohan masih menjadi hal yang lumrah untuk dikerjakan. Buktinya adalah saat
Cek Sitti orang tua dari Molek lebih memilih untuk menjodohkan anaknya dengan
orang yang belum ia kenal hanya karena sesama keturunan bangsawan dan memiliki
banyak harta. Padahal Molek hanya mencintai Yasin.
“pada
suatu hari Molek dipinang oleh Sayid Mustofa, yaitu seorang Arab yang ternama
kaya dan berharta di kota Palembang. Pinangan itu diterima oleh Raden Mahmud
dengan istrinya, sebab meskipun Sayid Mustofa itu bukan seorang bangsawan
Palembang, tetapi pada pemandangannya mereka drajatnya tiada kurang, karena ia
keturunan nabi dan berasal dari Tanah Suci” (Alisjahbana, 1986:93).
4.
Alur
Cerita
Alur
adalah urutan peristiwa yang berdasarkan hukum sebab akibat. Alur tidak hanya
mengemukakan apa yang terjadi, akan tetapi menjelaskan mengapa hal ini terjadi.
Kehadiran alur dapat membuat cerita berkesinambungan. Oleh karena itu, alur
biasa disebut juga susunan cerita atau jalan cerita.
Alur
dalam novel ini adalah alur maju, disebut alur maju karena pengarang menyusun
peristiwa-peristiwa secara berurutan mulai dari perkenalan sampai penyelesaian.
Diawali perkenalan Yasin dan ibunya sebagai penjual pisang, kemudian Yasin
bertemu dengan Molek. Yasin langsung jatuh hati pada Molek, namun sayang drajat
mengakhiri kisah cinta mereka, hingga akhirnya Yasin memilih membujang selama
hidupnya, serta Molek bunuh diri karena tidak kuat menahan perasaannya yang
masih mencintai Yasin disaat ia sudah dipinang Sayid Mustofa, lelaki yang tidak
pernah ia cintai.
5.
Gaya
Bahasa
Gaya
bahasa adalah cara khas penyusunan dan penyampaian dalam bentuk tulisan dan
lisan. Ruang lingkup dalam tulisan meliputi penggunaan kalimat, pemilihan
diksi, penggunaan majas,dan penghematan kata. Jadi, gaya merupakan seni
pengungkapan seorang pengarang terhadap karyanya.
Gaya
bahasa yang ditampilkan dalam novel Dian
Yang Tak Kunjung Padam ini lumayan sulit untuk dipahami, masih menggunakan
ejaan lama, dapat dibuktikan dengan kutipan berikut ini:
“ber-kilau2an
se-olah2 sebuah cermin yang amat besar. Lampu di rumah dan di perahu terbayang,
gelisah seperti ular melata di tempat yang licin” (Alisjahbana, 1986:3).
6.
Amanat
Melalui
amanat, pengarang dapat menyampaikan sesuatu, baik hal yang bersifat positif
maupun negatif. Dengan kata lain, amanat adalah pesan yang ingin disampaikan
pengarang berupa pemecahan atau jalan keluar terhadap persoalan yang ada dalam
cerita.
Sepertinya
penulis ingin menyampaikan kritik sosial dalam novel ini, penulis berani
menuliskan kehidupan orang-orang daratan Palembang yang begitu membenci orang
Uluan hanya karena harta benda dan kasta mereka berbeda. Amanat yang
disampaikan dalam cerita novel ini, di antaranya adalah jangan pernah melihat seseorang dari harta dan drajat yang ia miliki.
Orang tua Molek yang sudah terpesona dengan apa yang dimiliki oleh Sayid
Mustofa dan menilai Sayid adalah orang baik, ternyata penilaian mereka salah.
“Suaminya
yang gila akan uang itu senantiasa berusaha akan menjadikan harta benda
ayah-ibunya jadi harta-bendanya sendiri” (Alisjahbana, 1986:110).
Kita
juga dapat belajar dari gaya hidup Molek, meskipun ia dikelilikgi oleh harta
yang melimpah dan iapun keturunan bangsawan, namun ia tetap manjadi rendah
hati, tulus, dan juga sangat patuh kepada orangtuanya.
2 komentar:
makasih infonya ya... kalau boleh tahu novel yang tahun 1986 ini cetakan ke berapa ya? :)
Ini buku novel yang pertama kali nya saya baca kurang lebih 35 thn yang lalu, sampai saat ini saya masih ingat akhir ceritanya, apakah masih ada buku novel aslinya ? semua analisa bahasa yang kakak bahas sangat jelas dan mengembalikan kenangan saat membacanya.
terimakasih,
salam hormat
Posting Komentar