"PERCAYALAH BAHWA SENYUM ADALAH KEKUATAN TERHEBAT UNTUK MENGUSIR SEMUA MASALAH DAN KESEDIHAN YANG BERSEMAYAM DI DALAM TUBUH INI"

Kamis, 17 Januari 2013

ANALISIS NOVEL DIAN YANG TAK KUNJUNG PADAM KARYA SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN OBJEKTIF



ANALISIS NOVEL DIAN YANG  TAK KUNJUNG PADAM
KARYA SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA
DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN OBJEKTIF

A.    Pengertian Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif merupakan suatu pendekatan yang hanya menyelidiki karya sastra itu sendiri tanpa menghubungkan dengan hal-hal di luar karya sastra. Kritik objektif mendekati karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas dari penyair, audience, dan dunia yang mengelilinginya! Kritik itu menganalisis karya sastra sebagai sebuah objek yang mencukupi dirinya sendiri atau hal yang utuh, atau sebuah dunia dalam dirinya (otonom), yang harus ditimbang atau dianalisis dengan kriteria “intrinsik” seperti kompleksitas, keseimbangan, integritas, dan saling hubungan antara unsur-unsur pembentuknya. Dalam artian, pendekatan objektif ini sama halnya dengan menganalisis unsur-unsur intrinsik dalam suatu novel.
Ada satu novel yang menarik untuk dianalisis menggunakan pendekatan objektif atau dikaji unsur intrinsiknya, yaitu novel Dian Yang Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Alisjahbana yang terbit pada tahun 1932 dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Novel ini mengangkat tema cinta dan dipadukan dengan adat dan istiadat di dalamnya. Gaya penceritaannya memang terkesan kuno, tetapi kekhasan cerita ini mampu membuat setiap pembaca benar-benar berada di dalamnya. Rasa senang hingga haru, semua ada dalam novel ini.
B.     Analisis Novel dengan Pendekatan Objektif
1.      Tema
Tema adalah persoalan pokok sebuah cerita. Tema disebut juga ide cerita. Tema dapat berwujud pengamatan pengarang terhadap berbagai peristiwa dalam kehidupan ini. Kita dapat memahami tema sebuah cerita jika sudah membaca cerita tersebut secara keseluruhan.
Novel ini mengisahkan kehidupan dua orang berbeda kasta di Palembang yang sedang dimabuk cinta, tapi sayangnya kisah cinta mereka tidak berjalan sesuai dengan apa yang mereka harapkan hanya karena perbedaan kasta tersebut. Sang lelaki yang dari keluarga biasa-biasa saja memberanikan untuk melamar biddadari pujaannya yang dari keturunan bangsawan, namun sayangnya lamaran itu ditolak.
“belum selang berapa lama ibu Yasin dengan dua orang perempuan lain dan seorang laki2 turun dari rumah yang besar itu, balik dari meminang Molek. Mereka pulang dengan hampa tangan, karena Cek Sitti berkata terus terang, bahwa anaknya yang bungsu itu tak dapat diserahkan kepada orang uluan. Jodohnya mesti seorang bangsawan seperti dia pula” (Alisjahbana, 1986:72).
2.      Tokoh dan Karakternya
Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan watak, perwatakan, atau karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh yang menggambarkan kualitas pribadi seorang tokoh. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Secara umum kita mengenal tokoh protagonis dan antagonis. Beberapa tokoh utama dalam novel Dian Yang Tak Kunjung Padam ini adalah sebagai berikut:
·        Yasin
Pemuda yang rajin beribah dan baik hati ini memiliki watak yang sedikit pendiam.
“sejak pulang dari Palembang itu pekertinya yang pendiam itu se-olah2 menjadi bertambah pendiam lagi” (Alisjahbana, 1986:25).
·        Molek
Walaupun ia dilahirkan dari keluarga yang kaya raya dan dari keturunan bangsawan, tetapi Molek tidak pernah menjadi angkuh pula dan ia juga tidak pernah membeda-bedakan orang berdasarkan harta dan keturunan. Molek adalah sosok yang rendah hati dan hormat kepada orangtuanya, Molek sangat mencintai Yasin.
“lagi pula rupanya kerendahan hatinya dan pekertinya yang pengasih dan penyayang itu amat berlawanan dengan perasaan kesombongan dan keangkuhan yang acap kali terdapat pada orang yang mengaku dirinya bangsawan dan dengan hal yang demikian, Molek bolehlah dibandingkan dengan bunga mawar yang tinggal suci tumbuh di-tengah2 semak yang rapat” (Alisjahbana, 1986:50).
·        Raden Mahmud dan Cek Sitti
Ayah dan Ibu dari Molek ini adalah saudagar yang ternama di Palembang. Walaupun begitu, mereka memiliki sifat yang angkuh dan hanya memandang seseorang dari hartanya. Mereka juga menerima pinangan Sayid Mustofa untuk meminang Molek hanya karena harta dan keturunan. Padahal Molek hanya mencintai Yasin.
“pada suatu hari Molek dipinang oleh Sayid Mustofa, yaitu seorang Arab yang ternama kaya dan berharta di kota Palembang. Pinangan itu diterima oleh Raden Mahmud dengan istrinya, sebab meskipun Sayid Mustofa itu bukan seorang bangsawan Palembang, tetapi pada pemandangannya mereka drajatnya tiada kurang, karena ia keturunan nabi dan berasal dari Tanah Suci” (Alisjahbana, 1986:93).
·        Ibunda Yasin
Ia menjadi orangtua tunggal semenjak ditinggal mati suaminya, ia adalah ibu yang baik, sosok yang halus budinya, dan peka terhadap perasaan anaknya.
“bunda yang penuh kasih-sayang itupun teruslah meng-amat2i anaknya itu. Dalam peralatan itu lebih nyatalah kepadanya, bahwa pekerti Yasin sebenarnya telah berubah tiada seperti biasa lagi” (Alisjahbana, 1986:36).
Selain tokoh-tokoh di atas yang telah disebutkan wataknya, masih ada lagi beberapa tokoh tambahan yang hanya muncul sekali-kali.
3.      Latar
Latar dalam sebuah cerita menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu sebagai berikut:
·        Latar Tempat
Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu.
Cerita dalam novel ini mengambil tempat di daerah Palembang, seperti sungai Musi, sungai Ogan, Uluan, Enambelas Ilir, Muara Enim, dan Penanggiran.
“bulan memancarkan amat terang di langit yang tiada berawan.
Sinar putih ang permai menerangi seluruh Palembang. Sungai Musi yang lebar itu ber-kilau2an se-olah2 sebuah cermin yang amat besar. Lampu di rumah dan di perahu terbayang, gelisah seperti ular melata di tempat yang licin” (Alisjahbana, 1986:3).
            Bukti lainnya untuk memperkuat pernyataan bahwa latar tempat dalam novel ini di daerah Palembang adalah sebagai berikut:
“Penduduk dusun Penanggiran amat sibuk, sbab peralatan kawin adik pesirah akan mulai, lima hari lima malam lamanya. Sudah beberapa hari tak lain yang dipercakapkan orang melainkan penjamuan yang besar itu saja” (Alisjahbana, 1986:29).
·        Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan "kapan" terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Jika ditanya tahun terjadi peristiwa dalam cerita ini, mungkin akan sulit terjawab, karena tidak dijelaskan tahun terjadinya. Namun jika dilihat cetakan pertama novel ini, tampaknya peristiwa dalam novel ini sudah terjadi pada masa sebelum kemerdekaan. Cetakan pertama novel ini yaitu tahun 1932, diterbitkan oleh Balai Pustaka.
·        Latar Sosial
Latar sosial merujuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan dosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, serta hal-hal lainnya.
Novel ini mengangkat kehiduan sosial orang-orang di Palembang pada zaman sebelum kemerdekaan, saat drajat dan keturunan masih berpengaruh dalam memilih teman, saudara, dan cinta, saat perjodohan masih menjadi hal yang lumrah untuk dikerjakan. Buktinya adalah saat Cek Sitti orang tua dari Molek lebih memilih untuk menjodohkan anaknya dengan orang yang belum ia kenal hanya karena sesama keturunan bangsawan dan memiliki banyak harta. Padahal Molek hanya mencintai Yasin.
“pada suatu hari Molek dipinang oleh Sayid Mustofa, yaitu seorang Arab yang ternama kaya dan berharta di kota Palembang. Pinangan itu diterima oleh Raden Mahmud dengan istrinya, sebab meskipun Sayid Mustofa itu bukan seorang bangsawan Palembang, tetapi pada pemandangannya mereka drajatnya tiada kurang, karena ia keturunan nabi dan berasal dari Tanah Suci” (Alisjahbana, 1986:93).
4.      Alur Cerita
Alur adalah urutan peristiwa yang berdasarkan hukum sebab akibat. Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, akan tetapi menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Kehadiran alur dapat membuat cerita berkesinambungan. Oleh karena itu, alur biasa disebut juga susunan cerita atau jalan cerita.
Alur dalam novel ini adalah alur maju, disebut alur maju karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa secara berurutan mulai dari perkenalan sampai penyelesaian. Diawali perkenalan Yasin dan ibunya sebagai penjual pisang, kemudian Yasin bertemu dengan Molek. Yasin langsung jatuh hati pada Molek, namun sayang drajat mengakhiri kisah cinta mereka, hingga akhirnya Yasin memilih membujang selama hidupnya, serta Molek bunuh diri karena tidak kuat menahan perasaannya yang masih mencintai Yasin disaat ia sudah dipinang Sayid Mustofa, lelaki yang tidak pernah ia cintai.
5.      Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara khas penyusunan dan penyampaian dalam bentuk tulisan dan lisan. Ruang lingkup dalam tulisan meliputi penggunaan kalimat, pemilihan diksi, penggunaan majas,dan penghematan kata. Jadi, gaya merupakan seni pengungkapan seorang pengarang terhadap karyanya.
Gaya bahasa yang ditampilkan dalam novel Dian Yang Tak Kunjung Padam ini lumayan sulit untuk dipahami, masih menggunakan ejaan lama, dapat dibuktikan dengan kutipan berikut ini:
“ber-kilau2an se-olah2 sebuah cermin yang amat besar. Lampu di rumah dan di perahu terbayang, gelisah seperti ular melata di tempat yang licin” (Alisjahbana, 1986:3).



6.      Amanat
Melalui amanat, pengarang dapat menyampaikan sesuatu, baik hal yang bersifat positif maupun negatif. Dengan kata lain, amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang berupa pemecahan atau jalan keluar terhadap persoalan yang ada dalam cerita.
Sepertinya penulis ingin menyampaikan kritik sosial dalam novel ini, penulis berani menuliskan kehidupan orang-orang daratan Palembang yang begitu membenci orang Uluan hanya karena harta benda dan kasta mereka berbeda. Amanat yang disampaikan dalam cerita novel ini, di antaranya adalah jangan pernah melihat seseorang dari harta dan drajat yang ia miliki. Orang tua Molek yang sudah terpesona dengan apa yang dimiliki oleh Sayid Mustofa dan menilai Sayid adalah orang baik, ternyata penilaian mereka salah.
“Suaminya yang gila akan uang itu senantiasa berusaha akan menjadikan harta benda ayah-ibunya jadi harta-bendanya sendiri” (Alisjahbana, 1986:110).
Kita juga dapat belajar dari gaya hidup Molek, meskipun ia dikelilikgi oleh harta yang melimpah dan iapun keturunan bangsawan, namun ia tetap manjadi rendah hati, tulus, dan juga sangat patuh kepada orangtuanya.

2 komentar:

Tika (Titian Karya) mengatakan...

makasih infonya ya... kalau boleh tahu novel yang tahun 1986 ini cetakan ke berapa ya? :)

Unknown mengatakan...

Ini buku novel yang pertama kali nya saya baca kurang lebih 35 thn yang lalu, sampai saat ini saya masih ingat akhir ceritanya, apakah masih ada buku novel aslinya ? semua analisa bahasa yang kakak bahas sangat jelas dan mengembalikan kenangan saat membacanya.
terimakasih,
salam hormat