"PERCAYALAH BAHWA SENYUM ADALAH KEKUATAN TERHEBAT UNTUK MENGUSIR SEMUA MASALAH DAN KESEDIHAN YANG BERSEMAYAM DI DALAM TUBUH INI"

Kamis, 17 Januari 2013

Perbandingan Struktur Tematis Karya Sastra


BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Karya sastra adalah salah satu bagian dari aset budaya suatu bangsa. Bangsa yang berbudaya adalah bangsa yang tidak hanya memiliki hasil karya sastra bangsanya, tetapi juga menghargai dan memberikan apresiasinya terhadap karya sastra sebagai hasil karya bangsanya. Sejarah sastra Indonesia adalah bagian dari kajian ilmu sastra yang mempelajari kesusastraan Indonesia, dari mulai munculnya kesusastraan Indonesia sampai masa-masa selanjutnya dengan segala persoalan yang melingkupinya.
Sebagai contoh pada akhir abad ke-20, terbit novel Saman karya Ayu Utami yang ‘menghebohkan’ dunia sastra Indonesia. Tahun 70-an terbit novel-novel Trilogi Iwan Simantupang, Merahnya Merah (1968), Ziarah (1969) dan Kering (1970) yang dianggap novel absurd, sarat filsafah, yang sulit dipahami, karena berbeda dengan pola-pola cerita pada novel novel tahun-tahun sebelumnya. Jauh sebelumnya, pada tahun 40-an terbit novel Belenggu yang dianggap mengusik keindahan sastra dengan ‘menelanjangi’ kehidupan kaum elit yang diwakili oleh keluarga dokter Sukartono. Pada tahun 20-an, lahir novel Sitti Nurbaya yang sangat laris pada masa itu sehingga melampaui kelarisan novel-novel yang lahir sebelumnya seperti Azab dan Sengsara.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, dapat diambil suatu permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
1.      Bagaimanakah perbedaan unsur-unsur yang terdapat pada novel Merahnya Merah Karya Iwan Simatupang dan novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis .
2.      Bagaimanakah perbedaan karya sastra antara masing-masing angkatan dalam periodesasi sastra.

C.    Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab masalah-masalah penelitian, yakni:
1.      Mendeskripsikan perbedaan unsur-unsur yang terdapat pada novel Merahnya Merah Karya Iwan Simatupang dan novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis .
2.      Mendeskripsikan perbedaan karya sastra antara masing-masing angkatan dalam periodesasi sastra.

D.    Metodologi Penelitian
1.      Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2011. Penelitian ini merupakan penelitian mandiri.
2.      Bahan dan Cara Pengumpulannya
Data pada penelitian ini adalah novel Merahnya Merah karya Iwan Simatupang cetakan ke-14, Mei 2002 dan novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis terbitan tahun 2009.




BAB II
ISI dan PEMBAHASAN
A.    Perbandingan Struktur Tematis Karya Sastra
1.      Penggambaran Watak Tokoh
                Pada novel Merahnya Merah karya Iwan Simatupang memiliki banyak tokoh, namun tokoh utamanya hanyalah tokoh tanpa nama “tokoh kita”, Fifi, dan Maria.
Ø  Tokoh Kita
Dalam novel ini tokoh kita adalah seorang gelandangan, namun sebelum menjadi gelandangan ia adalah “orang besar”.
“Sebelum revolusi, dia calon rahib. Selama revolusi, dia komandan kompi. Di akhir revolusi, dia algojo pemancung kepala penghianat-penghianat tertangkap. Sesudah revolusi, dia masuk rumah sakit jiwa” (Simatupang, 2002:5).
Tokoh kita ini memiliki watak yang baik dan juga masih memiliki harga diri yang cukup tinggi. Walaupun hanyalah seorang gelandangan, dia tidak akan menjadi peminta-minta walaupun sudah kelaparan.
”Menurut anggapannya sendiri, dia tak pernah minta. Apalagi minta-minta. Rasa harga dirinya masih cukup tebal. Bila tak ada kenalannya antara penumpang-penumpang itu – bekas anak buahnya, atau atasnnya ketika revolusi bersenjata dulu – dia tahan tak makan berminggu-minggu lamanya. Bintang-bintang tanda pangkat perwirana – yang masih tetap disimpannya sebagai jimat, terbungkus dan terlilit meliputi lehernya – melarang kebiasaan rekan-rekannya gelandangan lainnya untuk menengadahkan kaleng atau batok kosong di warung-warung mengharapkan sisa-sisa makanan tamu-tamu” (Simatupang, 2002:6).

Ø  Fifi
Fifi adalah seorang anak kecil yang beranjak remaja, usianya 14 tahun. Fifi adalah remaja yang memiliki sifat baik, namun ia masih belum menyadari tentang bahayanya dunia yang ia jalani, dengan kata lain Fifi adalah perempuan yang masih polos.
”Karena tak punya apa-apa – pun famili tidak – dia terpaksa cari nafkahnya dengan satu-satunya barang yang masih punya harga bagi orang lain. Yakni, kewanitaannya. Inipun tak lama ia eksploatasi, satu malam, ia kena razia di kota. Lewat seminggu, ia dilepas lagi. – ayo! Mengapa lagi di sini. Lekas-lekas pulang ke kekampungmu, ke orangtuamu! Bentak brigadir susila, yang malam sebelumnya sudah sempat mencicipi dia” (Simatupang, 2002:8).

Ø  Maria
Sedikit memiliki kesamaan nasib dengan Fifi. Dia sempat diperkosa, namun ia tidak mengetahui siapa yang telah mengotorinya. Mengenai perwatakannya, Maria sedikit kasar dalam hal berbicara.
” – Tolong dalam hal apa? Bentak Maria, terus maju ke Fifi ingin menaksirnya lebih dekat. – Menompangkan dia tidur di gubukmu ini. Gubukmu terbesar di sisi, bisa masuk 2 orang. – Menompang? Kau sendiri mengalami saban kali kau tidur bersama aku – cih! Kau sendiri tahu, gubukku tak besar” (Simatupang, 2002:10).
Namun sebenarnya Maria adalah sosok yang baik hati dan dia juga seperti menjadi ibu bagi kaum gelandangan di sekitarnya yang memiliki masalah. Dia siap membantu dalam hal apapun.
”Dia galak! Tingkah Fifi. Memang. Tapi ini hanya luarnya saja. Dialah ibu kami semua di sini, laki-laki maupun perempuan. Kalau ada apa-apa atau ada kesusahan kami, kami selalu datang padanya. Dia selalu sedia menolong. Kata-katanya selalu dapat mengobati susah kami” (Simatupang, 2002:11).

Dalam novel Salah Asusan Karya Abdoel Moeis, terdapat lima tokoh utama, yaitu: Hanafi, Corrie du Busee, Mariam, Tuan du Busse, dan Rapiah.
Ø  Hanafi
Merupakan tokoh protagonis sekalian antagonis dalam cerita ini. Dia adalah anak yatim dari keluarga Minangkabau namun sekolah di Betawi dan tinggal dengan keluarga Belanda. Hanafi merasa seperti orang Belanda dari pada orang Minangkabau, mungkin dikarenakan pakaian dan bahasanya yang seperti orang Belanda (Moeis, 2009:24-29).
Walaupun dia cinta pada ibunya, dia amat benci dengan budaya Minangkabau, hal ini diperkut dengan pernyataan ini:
”Negeri Minangkabau sungguh indah, hanya sayang sekali penduduknya si Minangkabau”. Kebudayaannya, di antara lain utang budi, kawin paksa, dan dowry (Moeis, 2009:26-32).

Ø  Corrie du Busse
Corrie adalah putri campuran Prancis dan Pribumi yang berusia 19 tahun. Walaupun ia memiliki garis keturunan dari orang pribumi dan Prancis, namun ia tidak mengakui budaya ibunya. Ketika bergaul dengan orang pribumi, dia merasa dirinya lebih penting dari pada mereka yang pribumi (Moeis, 2009:1-5).
Corrie adalah sosok yang tidak berpendirian, kurang tegas, dan mudah terbawa emosi. Saat pembantunya tidak cukup cepat menyediakan minuman, dia langsung marah dan bersikap keas, serta ketika mendadak dicium oleh Hanafi, dia membalas dengan birahinya juga. Setelah itu dia merasa bersalah dan memutuskan semua hubungannya dengan Hanafi dan kota Solok, dia pergi ke Betawi (Moeis, 2009:46-52).

Ø  Mariam
Mariam adalh ibu dari Hanafi, sosok yang sederhana dan lembut dalam novel ini. Ketika Hanafi menganggap rendah budaya Minangkabau dan orang-orang sekitarnya, mariam menanggapinya dengan sabar dan menasehati Hanafi dengan tulus (Moeis, 2009:24-33)

Ø  Tuan du Busee
Ayah dari Corrie du Busse ini adalah orang Prancis yang pindah ke Solok, kemudian dia menikahi wanita lokal di Solok. Dia adalah pensiunan dari pekerjaan arsitek yang hobi menghabiskan waktunya dengan memburu harimau (Moeis, 2009:10-11). Sosok yang cuek terhadap dunia luar tapi penyabar ketika menghadapi putrinya. Sifat cuek terhadap dunia luar ini disebabkan karena istrinya diasingkan oleh kawan-kawan Belanda (Moeis, 2009:10-13).  Akhirnya, dia hanya akrab dengan Corrie dan mengizinkan apapun yang dilakukan oleh putrinya tersebut (Moeis, 2009:48-53).
Ø  Rapiah
Rapiah baru hadir pada bab delapan dalam novel ini, dia dijodohkan dengan Hanafi dan memiliki satu orang anak, yaitu Syafei (Moeis, 2009:75-81). Rapiah sangat mencintai Hanafi walaupun Hanafi bersikap kasar terhadapnya (Moeis, 2009:120-128).

2.      Penggunaan Gaya Bahasa
Novel Merahnya Merah karya Iwan Simatupang memiliki gaya bahasa yang berbelit-belit dan cukup sulit untuk dipahami jika kita hanya sekali saja membacanya:
”ESOKNYA, dia tak ke dokter. Berobat ke dokter menuntut perubahan mutlak dalam hidupnya, dalam filsafat hidup yang dianutnya hingga saat itu” (Simatupang, 2002:17).
Di dalam novel inipun tokoh utamanya tidak disebutkan namanya, hanya menggunakan kata ganti orang ketiga, Tokoh Kita.
Sedangkan pada novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis manggunakan gaya bahasa campuran, karena di dalamnya terdapat bahasa Belanda. Pada novel ini juga terdapat bahasa majas hiperbola, perbandingan, sarkaisme, dan sinisme sehingga suasana dalam cerita makin mengharukan.
Saat ini, air mukamu jernih, keningmu licin, bolehkan ibu menuturkan niatku ini, supaya tidak menjadi duri dalam daging (Moeis, 2009:25).
“sesungguhnya tidaklah berdusta apabila ia berkata sakit kepala, karna sebenarnyalah kepalanya bagai dipalu (Moeis, 2009:47).


3.      Penggambaran Latar/Setting
Pada novel Merahnya Merah karya Iwan Simatupang, ceritanya berlatarkan tempat disebuah perkampungan gelandangan, stasiun kereta api, Gereja, alun-alun, rumah sakit jiwa, perkuburan, poliknik, dan jalan raya. Namun latar tempat yang sering menjadi sorotan adalah perkampungan gelandangan.
”Ketika ia mengantarkan Fifi ke sebuah perkampungan gubuk-gubuk kecil yang sembunyi di balik belukar-belukar di temgah lapangan besar tak terurus di tengah kota itu. Perkampungan gubuk-gubuk ini adalah perkampungan kaum gelandangan (Simatupang, 2002:7).

Sedangkan latar pada novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis yakni:
Lapangan tennis “tempat bermain tennis, yang dilindungi oleh pohon-pohon kelapa disekitarnya, masih sunyi” (Moeis, 2009:1).
Solok “sesungguhnya ibunya orang kampung dan selamanya tinggal di kampung saja, tapi sebab kasihan kepada anak, ditinggalkanlah rumah Gadang di Koto Anau, dan tinggallah ia bersama-sama dengan Hanafi di Solok” (Moeis, 2009:23).
Betawi  “dari kecil Hanafi sudah di sekolahkan di Betawi” (Moeis, 2009:23).


4.      Penggambaran Alur
Novel Merahnya Merah karya Iwan Simatupang menggunakan alur maju-mundur flashback”.
“Sebelum revolusi, dia calon rahib. Selama revolusi, dia komandan kompi. Di akhir revolusi, dia algojo pemancung kepala penghianat-penghianat tertangkap. Sesudah revolusi, dia masuk rumah sakit jiwa” (Simatupang, 2002:5).
Sedangkan pada novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis menggunakan alur maju karena bercerita mulai dari masa kecil sampai dewasa.

B.     Perbandingan Tema
Novel Merahnya Merah karya Iwan Simatupang menceritakan kehidupan orang-orang yang terpaksa menjadi gelandangan setelah berakhirnya revolusi. Penyebab mereka menjadi gelandangan juga bermacam-macam, mulai dari Tokoh Kita yang menjadi gelandangan setelah keluar dari rumah sakit jiwa. Fifi dan Maria yang sebelumnya sempat diperkosa setelah itu melarikan diri ke kota dan akhirnya menjadi gelandangan karena tidak ada tempat bersandar lagi.
Sedangkan pada novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis bertemakan anak manusia yang bertentangan dengan adat dan agama, cinta dua perempuan yang mencintai seorang laki-laki dari sudut pandang yang berbeda. Akibatnya ketiga anak manusia tersebut jadi korban perasaan.

C.    Pendapat Tentang Novel
Novel Merahnya Merah karya Iwan Simatupang benar-benar novel yang absurd, sulit dipahami. Tidak hanya butuh konsentrasi dalam membacanya, tetapi memang sulit dipahami jika hanya sekali kita membacanya.
Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis memang layak untuk dibaca, terutama bagi remaja yang ada di bumi Minangkabau ini. Sangat jelas bahwa novel ini mendapat pengaruh dari latar sosial dan budaya Minangkabau. Karena novel ini berani membongkar tentang kebudayaan adat Minangkabau yang dicampur adukkan dengan kebudayaan luar negeri walaupun sangat bertolak belakang.













BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Novel Merahnya Merah mengandung unsur-unsur struktualisme. Melalui tokoh-tokohnya menggambarkan prilaku-prilaku tokohnya yang berupa kritik sosial. Kritik sosial lebih ditekankan pada hakikat penelusuran nilai kebenaran yang terjadi dalam masyarakat. Nilai-nilai itu berupa: nilai moral, nilai agama, nilai perjuangan, dan nilai kemanusiaan.
Novel Salah Asuhan mengandung unsure kebudayaan yakni adat Minangkabau, pengarang menggambarkan bagaimana kehidupan seoseorang dalam menjalani hidupnya ditengan-tengan pengaruh barat yang ada.

B.     Saran
Membaca ternyata lebih menyenangkan dari pada menonton televisi, terutama membaca karya sastra yang ada di Indonesia ini. Saya berharap semoga remaja pada saat ini berkenan meluangkan waktunya untuk menghargai karya sastra di Indonesia ini dengan cara membacanya. ”Bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang menghargai sejarahnya tetapi juga menghargai apapun yang aa di dalamnya”.
Akhir kalimat, semoga dengan membaca makalah ini, pembaca dapat lebih memahamiletak perbedaan tiap-tiap unsurnya pada setiap angkatannya.









DAFTAR PUSTAKA

Simatupang, Iwan. 2002. Merahnya Merah. Jakarta: PT Toko Gunung Agung Tbk
Moeis, Abdoel. 2009. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka
Atmazaki. 2007. Ilmu Sastra. Padang: UNP Press

ANALISIS NOVEL DIAN YANG TAK KUNJUNG PADAM KARYA SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN OBJEKTIF



ANALISIS NOVEL DIAN YANG  TAK KUNJUNG PADAM
KARYA SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA
DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN OBJEKTIF

A.    Pengertian Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif merupakan suatu pendekatan yang hanya menyelidiki karya sastra itu sendiri tanpa menghubungkan dengan hal-hal di luar karya sastra. Kritik objektif mendekati karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas dari penyair, audience, dan dunia yang mengelilinginya! Kritik itu menganalisis karya sastra sebagai sebuah objek yang mencukupi dirinya sendiri atau hal yang utuh, atau sebuah dunia dalam dirinya (otonom), yang harus ditimbang atau dianalisis dengan kriteria “intrinsik” seperti kompleksitas, keseimbangan, integritas, dan saling hubungan antara unsur-unsur pembentuknya. Dalam artian, pendekatan objektif ini sama halnya dengan menganalisis unsur-unsur intrinsik dalam suatu novel.
Ada satu novel yang menarik untuk dianalisis menggunakan pendekatan objektif atau dikaji unsur intrinsiknya, yaitu novel Dian Yang Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Alisjahbana yang terbit pada tahun 1932 dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Novel ini mengangkat tema cinta dan dipadukan dengan adat dan istiadat di dalamnya. Gaya penceritaannya memang terkesan kuno, tetapi kekhasan cerita ini mampu membuat setiap pembaca benar-benar berada di dalamnya. Rasa senang hingga haru, semua ada dalam novel ini.
B.     Analisis Novel dengan Pendekatan Objektif
1.      Tema
Tema adalah persoalan pokok sebuah cerita. Tema disebut juga ide cerita. Tema dapat berwujud pengamatan pengarang terhadap berbagai peristiwa dalam kehidupan ini. Kita dapat memahami tema sebuah cerita jika sudah membaca cerita tersebut secara keseluruhan.
Novel ini mengisahkan kehidupan dua orang berbeda kasta di Palembang yang sedang dimabuk cinta, tapi sayangnya kisah cinta mereka tidak berjalan sesuai dengan apa yang mereka harapkan hanya karena perbedaan kasta tersebut. Sang lelaki yang dari keluarga biasa-biasa saja memberanikan untuk melamar biddadari pujaannya yang dari keturunan bangsawan, namun sayangnya lamaran itu ditolak.
“belum selang berapa lama ibu Yasin dengan dua orang perempuan lain dan seorang laki2 turun dari rumah yang besar itu, balik dari meminang Molek. Mereka pulang dengan hampa tangan, karena Cek Sitti berkata terus terang, bahwa anaknya yang bungsu itu tak dapat diserahkan kepada orang uluan. Jodohnya mesti seorang bangsawan seperti dia pula” (Alisjahbana, 1986:72).
2.      Tokoh dan Karakternya
Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan watak, perwatakan, atau karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh yang menggambarkan kualitas pribadi seorang tokoh. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Secara umum kita mengenal tokoh protagonis dan antagonis. Beberapa tokoh utama dalam novel Dian Yang Tak Kunjung Padam ini adalah sebagai berikut:
·        Yasin
Pemuda yang rajin beribah dan baik hati ini memiliki watak yang sedikit pendiam.
“sejak pulang dari Palembang itu pekertinya yang pendiam itu se-olah2 menjadi bertambah pendiam lagi” (Alisjahbana, 1986:25).
·        Molek
Walaupun ia dilahirkan dari keluarga yang kaya raya dan dari keturunan bangsawan, tetapi Molek tidak pernah menjadi angkuh pula dan ia juga tidak pernah membeda-bedakan orang berdasarkan harta dan keturunan. Molek adalah sosok yang rendah hati dan hormat kepada orangtuanya, Molek sangat mencintai Yasin.
“lagi pula rupanya kerendahan hatinya dan pekertinya yang pengasih dan penyayang itu amat berlawanan dengan perasaan kesombongan dan keangkuhan yang acap kali terdapat pada orang yang mengaku dirinya bangsawan dan dengan hal yang demikian, Molek bolehlah dibandingkan dengan bunga mawar yang tinggal suci tumbuh di-tengah2 semak yang rapat” (Alisjahbana, 1986:50).
·        Raden Mahmud dan Cek Sitti
Ayah dan Ibu dari Molek ini adalah saudagar yang ternama di Palembang. Walaupun begitu, mereka memiliki sifat yang angkuh dan hanya memandang seseorang dari hartanya. Mereka juga menerima pinangan Sayid Mustofa untuk meminang Molek hanya karena harta dan keturunan. Padahal Molek hanya mencintai Yasin.
“pada suatu hari Molek dipinang oleh Sayid Mustofa, yaitu seorang Arab yang ternama kaya dan berharta di kota Palembang. Pinangan itu diterima oleh Raden Mahmud dengan istrinya, sebab meskipun Sayid Mustofa itu bukan seorang bangsawan Palembang, tetapi pada pemandangannya mereka drajatnya tiada kurang, karena ia keturunan nabi dan berasal dari Tanah Suci” (Alisjahbana, 1986:93).
·        Ibunda Yasin
Ia menjadi orangtua tunggal semenjak ditinggal mati suaminya, ia adalah ibu yang baik, sosok yang halus budinya, dan peka terhadap perasaan anaknya.
“bunda yang penuh kasih-sayang itupun teruslah meng-amat2i anaknya itu. Dalam peralatan itu lebih nyatalah kepadanya, bahwa pekerti Yasin sebenarnya telah berubah tiada seperti biasa lagi” (Alisjahbana, 1986:36).
Selain tokoh-tokoh di atas yang telah disebutkan wataknya, masih ada lagi beberapa tokoh tambahan yang hanya muncul sekali-kali.
3.      Latar
Latar dalam sebuah cerita menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu sebagai berikut:
·        Latar Tempat
Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu.
Cerita dalam novel ini mengambil tempat di daerah Palembang, seperti sungai Musi, sungai Ogan, Uluan, Enambelas Ilir, Muara Enim, dan Penanggiran.
“bulan memancarkan amat terang di langit yang tiada berawan.
Sinar putih ang permai menerangi seluruh Palembang. Sungai Musi yang lebar itu ber-kilau2an se-olah2 sebuah cermin yang amat besar. Lampu di rumah dan di perahu terbayang, gelisah seperti ular melata di tempat yang licin” (Alisjahbana, 1986:3).
            Bukti lainnya untuk memperkuat pernyataan bahwa latar tempat dalam novel ini di daerah Palembang adalah sebagai berikut:
“Penduduk dusun Penanggiran amat sibuk, sbab peralatan kawin adik pesirah akan mulai, lima hari lima malam lamanya. Sudah beberapa hari tak lain yang dipercakapkan orang melainkan penjamuan yang besar itu saja” (Alisjahbana, 1986:29).
·        Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan "kapan" terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Jika ditanya tahun terjadi peristiwa dalam cerita ini, mungkin akan sulit terjawab, karena tidak dijelaskan tahun terjadinya. Namun jika dilihat cetakan pertama novel ini, tampaknya peristiwa dalam novel ini sudah terjadi pada masa sebelum kemerdekaan. Cetakan pertama novel ini yaitu tahun 1932, diterbitkan oleh Balai Pustaka.
·        Latar Sosial
Latar sosial merujuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan dosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, serta hal-hal lainnya.
Novel ini mengangkat kehiduan sosial orang-orang di Palembang pada zaman sebelum kemerdekaan, saat drajat dan keturunan masih berpengaruh dalam memilih teman, saudara, dan cinta, saat perjodohan masih menjadi hal yang lumrah untuk dikerjakan. Buktinya adalah saat Cek Sitti orang tua dari Molek lebih memilih untuk menjodohkan anaknya dengan orang yang belum ia kenal hanya karena sesama keturunan bangsawan dan memiliki banyak harta. Padahal Molek hanya mencintai Yasin.
“pada suatu hari Molek dipinang oleh Sayid Mustofa, yaitu seorang Arab yang ternama kaya dan berharta di kota Palembang. Pinangan itu diterima oleh Raden Mahmud dengan istrinya, sebab meskipun Sayid Mustofa itu bukan seorang bangsawan Palembang, tetapi pada pemandangannya mereka drajatnya tiada kurang, karena ia keturunan nabi dan berasal dari Tanah Suci” (Alisjahbana, 1986:93).
4.      Alur Cerita
Alur adalah urutan peristiwa yang berdasarkan hukum sebab akibat. Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, akan tetapi menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Kehadiran alur dapat membuat cerita berkesinambungan. Oleh karena itu, alur biasa disebut juga susunan cerita atau jalan cerita.
Alur dalam novel ini adalah alur maju, disebut alur maju karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa secara berurutan mulai dari perkenalan sampai penyelesaian. Diawali perkenalan Yasin dan ibunya sebagai penjual pisang, kemudian Yasin bertemu dengan Molek. Yasin langsung jatuh hati pada Molek, namun sayang drajat mengakhiri kisah cinta mereka, hingga akhirnya Yasin memilih membujang selama hidupnya, serta Molek bunuh diri karena tidak kuat menahan perasaannya yang masih mencintai Yasin disaat ia sudah dipinang Sayid Mustofa, lelaki yang tidak pernah ia cintai.
5.      Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara khas penyusunan dan penyampaian dalam bentuk tulisan dan lisan. Ruang lingkup dalam tulisan meliputi penggunaan kalimat, pemilihan diksi, penggunaan majas,dan penghematan kata. Jadi, gaya merupakan seni pengungkapan seorang pengarang terhadap karyanya.
Gaya bahasa yang ditampilkan dalam novel Dian Yang Tak Kunjung Padam ini lumayan sulit untuk dipahami, masih menggunakan ejaan lama, dapat dibuktikan dengan kutipan berikut ini:
“ber-kilau2an se-olah2 sebuah cermin yang amat besar. Lampu di rumah dan di perahu terbayang, gelisah seperti ular melata di tempat yang licin” (Alisjahbana, 1986:3).



6.      Amanat
Melalui amanat, pengarang dapat menyampaikan sesuatu, baik hal yang bersifat positif maupun negatif. Dengan kata lain, amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang berupa pemecahan atau jalan keluar terhadap persoalan yang ada dalam cerita.
Sepertinya penulis ingin menyampaikan kritik sosial dalam novel ini, penulis berani menuliskan kehidupan orang-orang daratan Palembang yang begitu membenci orang Uluan hanya karena harta benda dan kasta mereka berbeda. Amanat yang disampaikan dalam cerita novel ini, di antaranya adalah jangan pernah melihat seseorang dari harta dan drajat yang ia miliki. Orang tua Molek yang sudah terpesona dengan apa yang dimiliki oleh Sayid Mustofa dan menilai Sayid adalah orang baik, ternyata penilaian mereka salah.
“Suaminya yang gila akan uang itu senantiasa berusaha akan menjadikan harta benda ayah-ibunya jadi harta-bendanya sendiri” (Alisjahbana, 1986:110).
Kita juga dapat belajar dari gaya hidup Molek, meskipun ia dikelilikgi oleh harta yang melimpah dan iapun keturunan bangsawan, namun ia tetap manjadi rendah hati, tulus, dan juga sangat patuh kepada orangtuanya.